BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Istilah “kelembagaan” belum memperoleh kesamaan pengertian di
kalangan para ahli. Hal in menyebabkan munculnya beberapa pengertian dan konsep
yang menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan.
Tulisan ini berusaha melakukan review seluruh pemikiran yang
berkembang, terutama kaitannya dengan istilah “organisasi”, untuk kemudian
merumuskan satu konsep yang lebih mudah sehingga dapat dipergunakan baik untuk
kalangan ilmuwan maupun praktisi.
Ketidaksamaan pemaknaan terjadi karena setiap ahli memiliki titik
pandang yang berbeda dalam membahasnya, terutama pda masa-masa awal
perkembangan sosiologi. Namun, semenjak era 1950-an, sesungguhnya sudah
terlihat adanya pembedaan yang tegas antara kelembagaan (social institution)
dan organisasi (social organization). Sebagai solusinya, penulis menggunakan
istilah “kelembagaan” untuk menyebut suatu sistem sosial dimaksud, yang
didalamnya dapat dibagi menjadi dua komponen penting, yaitu“aspek kelembagaan”
dan “aspek keorganisasian”.
Dengan membedakan seperti
ini, maka analisa dapat lebih mendalam, dapat diketahui aspek apa yang kuat dan
lemah, serta dapat memilih strategi untuk pengembangannya.
Kedinamisan merupakan salah
satu ciri kehidupan masyarakat manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang
dinamis ditandai dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas
dapat terlihat melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas
kehidupannya.
Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai
proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada, seperti yang
ditegaskan oleh Gillin dan Gillin (Soekanto, 1994), perubahan sosial dapat
dipandang sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang
disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebutuhan
materil, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penumuan baru dalam masyarakat tersebut.
Perubahan yang dialami manusia
bukanlah suatu penyimpangan, karena pandangan tersebut adalah suatu mitos yang
perlu dihilangkan dari pandangan mengenai perubahan (Lauer, 1993).
Setiap perubahan sosial selalu
mencakup pula perubahan budaya, dan perubahan budaya akanmencakup juga
perubahan sosial. Sosiatri merupakan ilmu sosial terapan (applied science), yang
dalam pengembangannya mengandalkan realita yang terjadi di dalam masyarakat,
berkaitan dengan masalah sosial yang perlu diselesaikan (pandangan awal
perkembangan) dan penyesuaian kebutuhan dengan sumber daya yang ada (pandangan
hasil perkembangan). Realita dalam masyarakat yang terus mengalami perubahan
memiliki dimensi perubahan sosial.
Sementara itu, secara
keilmuan, pengembangan kajian, penelitian, dan teori-teori baru juga dituntut
dari sosiatri, baik melalui hasil kerja lapangan (penelitian dan proyek
sosiatri), maupun melalui berbagai kegiatan seminar dan diskusi.
Aktivitas ilmiah mempermudah
perubahan budaya. Inovasi baru di bidang keilmuan memperoleh ruang dan
kesempatan formal. Kajian perubahan dalam sosial dapat dipadukan dengan konsep paradigma dari Khun (Ritzer, 1991).
1.2.Tujuan Penulisan
Makalah ini di
susun dengan tujuan
1.
Untuk memahami dan mengetahui
tentang Pengertian Kelembagaan dalam konteks organisasi sosiologi dan Dinamika
Sosial Budaya.
2.
Untuk memahami dan mengetahui
tentang Teori – Teori Tentang Dinamika Sosial Budaya, serta antropologi
sosiologi dalam masyarakat
1.3.Batasan Masalah
Makalah ini di buat dengan batasan pada konsep dan Hubunganya dengan Sosial
Budaya, yaitu mengenai pengertian Kelembagaan dalam konteks organisasi
sosiologi (Antropologi dan Sosiologi)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ø KERANGKA TEORI
2.1 Kebudayaan
Didalam
karanganya yang dikutip dalam buku ini milville J.Herskovis Soemardjan,Selo
dan Soemardi,Seoleaman. 1964. menyatakan bahwa ada lebih dari seratus enam puluh devinisi tentang
kebudayaan .yang demikian itu pada hakekatnya bearti bahwa tidak ada suatu
devinisi yang oleh umum dianggap tepat untuk merumuskan apa yang dimaksudkan
dengan kebudayaan.( Soemardjan,Selo dan Soemardi,Seoleaman. 1964.)
Memang
pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasnya seolah –olah tidak ada
batasnya,terutama kesenian suara, dan tari. Tetapi kalau istilah kebudayaan
diartikan menurut ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan maka kesenian merupakan
salah satu bagian saja dari kebudayaan. Apabila pengertian kebudayaan hendak
dirumuskan dengan istilah-istilah dalam bahasa indonesia,maka penulisan kata
pengantar ini mengusulkan rumusan devinisi seperti berikut : kebudayaan adalah
semua hasil dari karya ,rasa ,dan cipta masyarakat.
Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan material culture
yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai alam disekitarnya , agar
kekuatan dan hasilnya dapat diabadikan pada keperluan masyarakat.
Rasa
yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma-norma dan nilai-nilai
kemasyarakatan dalam arti yang luas didalamnya termasuk saja
agama,ideologi,kebatinan,kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi
dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat
Selanjutnya
cipta merupakan mental, kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup
bermasyarakat dan yang di antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu
pengetahuan , baik yang teori murni, maupun yang telah disusun untuk diamalkan
dalam kehidupan masyarakat.
(Soemardjan,Selo
dan Soemardi,Seoleaman. 1964.)
Semua
karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orng-orang yang menentukan
kegunaannya agar sesui dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh
masyarakat.
Malah
kebudayaan sebenarnya dipelajari secara khusus dalam ilmu antropologi budaya.
Namun penulis kata pengantar ini berpendapat bahwa eornag mahasiswa yang
belajar sosiologi dan karna itu memusatkan perhatiannya pada masyarakat, tidak
dapat menyampingkan pelajaran tentang kebudayaan. Seperti juga dikatakan dalam
kata pengantar bab lain, meskipun pengertian masyarakat kebudayaan secara
teoritis dan analitis dapat dipelajari secra terpisah, tetepi didalam kehidupan
yang nyata keduanya tidak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwi tunggal.( Soemardjan,Selo
dan Soemardi,Seoleaman. 1964.)
Ada
4 unsur-unsur pokok yang dimajukan oleh Herskovits adalah :
1. Alat-alat teknologi
2. Sistem ekonomi
3. Keluarga
4. Kekuasaan politik
2.2. Definisi Antropologi
Antropologi adalah salah satu
cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu
etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang
berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan
melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang
merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang
tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada
sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.( Koentjaraningrat. (1993).)
Koentjaraninggrat menyusun
perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut: Fase Pertama
(Sebelum tahun 1800-an), sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai
berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia,
hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal
baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah
petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun
jurnal perjalanan.
Mereka mencatat segala sesuatu
yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik,
kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan
yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan
etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik
perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19
perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari
sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha
untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an),
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi
karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu.
masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka
waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai
bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa
yang tinggi kebudayaannya. Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman
tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.( Koentjaraningrat. (1993).)
Fase Ketiga (awal abad ke-20),
pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua
lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun
koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa
asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa
serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara
Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya.
Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku
bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk
kepentingan pemerintah kolonial. Pada fase ini, Antropologi berkembang secara
pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai
hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi
sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II.
Perang ini membawa banyak
perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di
dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu
juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk
keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil
mereka.( Koentjaraningrat. (1993).)
Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam
dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak
lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
( Koentjaraningrat. (1993).)
2.3. Definisi Sosiologi
Sosiologi adalah pengetahuan
atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan
cabang Ilmu Sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap
kehidupan manusia. Sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh
ilmuwan Perancis, August Comte. Comte
kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi.
Namun demikian, sejarah
mencatat bahwa Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis yang kemudian berhasil
melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. (Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. (2003).)
Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan
yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara
kritis oleh orang lain atau umum.
Sosiologi merupakan sebuah
istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari
kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul
“Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte
(1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu.
Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir
kemudian di Eropa.( Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. (2003).)
Menurut Uphoff (1986: 8-9), istilah kelembagaan dan organisasi sering
membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, ‘social
institution’ dan ‘social organization’ berada dalam
level yang sama, untuk menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial,
grup, social form, dan lain-lain yang relatig sejenis.
Namun, perkembangan akhir-akhir ini, istilah “kelembagaan” lebih sering
digunakan untuk makna yang mencakup keduanya sekaligus. Ada beberapa alasan
kenapa orang-orang lebih memilih istilah tersebut. Kelembagaan lebih dipilih
karena kata “organisasi” menunjuk kepada suatu social form yang bersifat
formal, dan akhir-akhir ini semakin cenderung mendapat image negatif. Kata
kelembagaan juga lebih disukai karena memberi kesan lebih “sosial” dan lebih
menghargai budaya lokal, atau lebih humanistis.
Mempelajari kelembagaan (atau organisasi) merupakan sesuatu yang
esensial, karena masyarakat modern beroperasi dalam organisasi-organisasi. Tiap
perilaku individu selalu dapat dimaknai sebagai representaif kelompoknya.
Seluruh hidup kita dilaksanakan dalam organisasi, mulai dari lahir, bekerja,
sampai meninggal (Etzioni, 1985: 1).
Dengan menelaah berbagai tulisan, tampaknya kajian kelembagaan perlu
dipisahkan ke dalam “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Dengan
membedakannya kita dapat menggunakannya dalam analisis secara lebih tajam. Kita
menjadi bisa tahu aspek mana dari keduanya yang kuat dan lemah, serta mana yang
perlu diperkuat. Lebih jauh, dengan mengetahui perbedaannya, maka kita pun
dapat menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkannya. Dengan kata
lain, strategi pengembangan kelembagaan berbeda dengan strategi pengembangan
keorganisasian. Memadukan keduanya sama halnya dengan memadukan “pendekatan
kultural” dan “pendekatan struktural” dalam perubahan sosial.
Mempelajari kelembagaan dan keorganisasian hampir seluas kajian sosiologi
itu sendiri, karena ia memfokuskan kepada suatu yang pokok, fungsional, dan
berpola dalam sistem sosial. Untuk memahaminya, diperlukan pemahaman terhadap
konsep-konsep yang berkembang dalam studi grup dan kelompok sosial, birokrasi,
organisasi formal dan nonformal, stratifikasi sosial, masalah kelas, perubahan
sosial, kekuasaan, wewenang, dan lain-lain. Kajian kelembagaan (social
institution) semestinya dibedakan antara aspek kelembagaan (institutional
aspect) yang memiliki inti kajian kepada perilaku dengan nilai, norma, dan rule
di belakangnya; serta aspek keorganisasian (organizational aspect) yang
memfokuskan kepada kajian struktur dan peran.
Kata “kelembagaan” merupakan padanan dari kata Inggris “institution”,
atau lebih tepatnya “social institution”; sedangkan “organisasi” padanan dari
“organization” atau “social organization”. Meskipun kedua kata ini sudah umum
dikenal masyarakat, namun pengertian dalam sosiologi berbeda. Sebagaimana kata
Horton dan Hunt (1984: 211): “What is an institution? The sociological concept
is different from the common usage”.
Kedua kata tersebut pada mulanya
digunakan secara bolak balik, baur dan luas, namun akhirnya lebih menjadi tegas
dan sempit. Tujuannya adalah membangun suatu makna yang baku secara keilmuan,
sebagaimana dipaparkan dalam bagian akhir bab ini. Keduanya memiliki hubungan
yang kuat, sering sekali muncul secara bersamaan, namun juga sering digunakan
secara bolak balik, karena menyangkut objek yang sama atau banyak kesamaannya.
Kata “institution” sudah dikenal semenjak awal perkembangan ilmu
sosiologi. Frasa seperti “capital institution” dan “family intitution” sudah
terdapat dalam tulisan soiolog August Comte sebagai bapak pendiri ilmu
sosiologi, semenjak abad ke 19. Di sisi lain, konsep organisasi dalam
pengertian yang sangat luas, juga merupakan istilah pokok terutama dalam ilmu
antropologi. Kedua kata ini sering sekali menimbulkan perdebatan di antara para
ahli. (Norman Uphoff, 1986: 8).
Menurut Soemardjan dan Soemardi (1964: 61) “…belum terdapat istilah yang
mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk
menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’… Ada yang menterjemahkannya
dengan istilah ‘pranata’, ada pula yang ‘bangunan sosial’”. Ketidaksepakatan
tersebut bukan sekedar apa padanan katanya yang cocok dalam bahasa Indonesia.
Yang lebih penting adalah, apa makna kata itu sendiri seharusnya. Selama ini
pengertiannya sering berbeda-beda antar penulis, tergantung buku mana yang kita
baca. Horton dan Hunt (1984) misalnya, menempatkan social organization sebagai
konsep yang lebih luas, yang di dalamnya mencakup social institution.
BAB III
PEMBAHASAN
Antropologi
bukanlah satu satunya ilmu yang
mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti ilmu Politik yang
mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia
atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi
ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari
atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut
dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi. Antropologi berusaha
untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan di
semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua manusia? Dalam
hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku seperti itu?
Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar dalam studi-studi
Antropologi.
A. Hubungan Antropologi Dengan
Ilmu Lain
Seperti ilmu-ilmu lain,
Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau pengkhususan. Secara umum ada 3
bidang spesialisasi dari Antropologi, yaitu Antropologi Fisik atau sering
disebut juga dengan istilah Antropologi Ragawi. Arkeologi dan Antropologi
Sosial-Budaya.
1.
Antropologi Fisik
Antropologi Fisik tertarik
pada sisi fisik dari manusia. Termasuk didalamnya mempelajari gen-gen yang
menentukan struktur dari tubuh manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk
manusia sejak manusia itu mulai ada di bumi sampai manusia yang ada sekarang
ini. Beberapa ahli Antropologi Fisik menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan
fosil yang membantu memberikan keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli
Antropologi Fisik yang lain menjadi terkenal karena keahlian forensiknya;
mereka membantu dengan menyampaikan pendapat mereka pada sidang-sidang
pengadilan dan membantu pihak berwenang dalam penyelidikan kasus-kasus
pembunuhan.
2.
Arkeologi
Ahli Arkeologi bekerja mencari
benda-benda peninggalan manusia dari masa lampau. Mereka akhirnya banyak
melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau
senjata. Benda –benda ini adalah barang
tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang mereka dapatkan
untuk merekonstruksi atau membentuk kembali model-model kehidupan pada masa
lampau. Dengan melihat pada bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut
dapat dibuat dugaan-dugaan bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu
hidup atau bagaimana mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja
mereka itu dulu berinteraksi.
3.
Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi Sosial-Budaya atau
lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering
disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu
tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari
disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa
yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada
proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar
yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka
mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar
dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada
disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan
kebudayaan.
Kebudayaan dari
kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat
besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi
Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi
kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang
kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari
bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi
yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada
kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk
spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
Perkembangan antropologi dan
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada data yang
diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari
metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang
diperoleh digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta
metodologi; dan juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan
praktis bagi kebijaksanaan untuk merubah cara-cara hidup tertentu dari para
informan atau responden agar sesuai dengan dan mendukung program-program
pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk kepentingan
praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta
domestik maupun luar negeri.
B. Hubungan Antropologi dan
Sosiologi
Seorang manusia akan memiliki
perilaku yang berbeda dengan manusia lainnya walaupun orang tersebut kembar
siam. Ada yang baik hati suka menolong serta rajin menabung dan ada pula yang
prilakunya jahat yang suka berbuat kriminal menyakitkan hati. Manusia juga
saling berhubungan satu sama lainnya dengan melakukan interaksi dan membuat
kelompok dalam masyarakat. Hal-hal tersebut dapat dikaji dengan pendekatan
antropologi dan sosiologi.
Sosiologi berasal dari bahasa
yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti kawan / teman
dan logos berarti kata atau berbicara. Menurut Bapak Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Menurut ahli sosiologi lain
yakni Emile Durkheim, sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta
sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang
berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk
mengendalikan individu.
Objek dari sosiologi adalah
masyarakat dalam berhubungan dan juga proses yang dihasilkan dari hubungan
tersebut. Tujuan dari ilmu sosiologi adalah untuk meningkatkan kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Pokok bahasan dari ilmu sosiologi adalah seperti kenyataan atau fakta sosial,
tindakan sosial, khayalan sosiologis serta pengungkapan realitas sosial.
Antropologi berasal dari kata
Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau
"orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari
manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki
dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi
kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi
dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/
perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan
dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali
dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat
tunggal.
A.
Proses Belajar Kebudayaan Sendiri
1. Proses
Internalisasi
Koentjaraningrat (2003) mengunkapkan bahwa proses internalisasi adalah
proses yang berlangsung sepanjang hidup individu, yaitu mulai saat ia
dilahirkan sampai akhir hayatnya, sepanjang hayatnya seorang individu terus
belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang kemudian
membentuk kepribadiannya.
Menurut Effendi, R (2006) internalisasi adalah proses pengembangan potensi
yang dimiliki manusia yang dipengaruhi, baim lingkingan internal dalam diri
manusia itu maupu eksternal, yaitu pengaruh dari luar manusia.
Dapat disiimpulkan, bahwa proses internalisasi merupakan proses
pengembangan atau pengolaan potensi yang dimiliki manusia, yang berlangsung
sepanjang hayat, yang dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun eksternal.
Menurut Fathoni, A (2006), proses internalisasi tergantung dari bakat yang
dipunyai dalam gen manusia untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat,
nafsu dan emosinya. tetapi semua itu juga tergantung pada pengaruh dari
berbagai macam lingkungan sosial dan budayanya. Contoh: Bayi yang lahir terus
belajar bagaimana mendapatkan perasaan puas dan tidak puas.
2. Proses Sosialisasi
Menurut Fathoni, A (2006), proses sosialisasi bersangkutan dengan proses
belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam prose situ
seseorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola
tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu disekelilingnya yang
menduduki beraneka macam peranan sosial yang munkin ada dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Koentjaraningrat (2003) individu dalam masyarakat yang berbeda-beda
akan mengalami proses sosialisasi yang berbeda-beda karena prose situ banyak
ditentukan oleh susuanan kebudayaan serta lingkungan sosial yang bersangkutan.
Menurut Effendi, R (2006) syarat terjadinya proses sosialisasi adalah:
a.
Individu harus diberi keterampilan
yang dibutuhkan bagi hidupnya kelak dimasyarakat.
b.
Individu harus mampu berkomunikasi
secara efektif dan mengembangkan kemampuannya untuk membaca, menulis dan
berbicara.
c.
Pengendalian fungsi-funsi organic
harus dipelajari melalui latihan-latihan.
d.
Individu harus dibiasakan dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang ada pada masyarakat.
3. Proses
Akulturasi
Menurut Kuntjaraningrat (2003), mengemukakan bahwa proses akulturasi
merupakan proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap
adat. system norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan
seseorang
Sejak kecil proses akulturasi sudah dimulai dalam alam pikiran manusia,
mula-mula dari lingkungan keluarga, kemudian teman bermain, lingkungan
masyarakat dengan meniru pola perilaku yang berlangsung dalam suatu kebudayaan.
Oleh karena itu prosen akulturasi disebut juga dengan pembudayaan.
Akulturasi terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan satuan kebudayaan
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda
sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun
diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kebudayaan itu sendiri.
Proses akulturasi yang berjalan dengan baik dapat menghasilkan integasi
antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan sendiri.
Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak lagi dirasakan sebagai hal
yang berasal dari luar, tetapi dianggap sebagai unsur-unsur kebudayaan sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Sosiologi dan antropologi
adalah objek ilmu manusia. Antropologi mempelajari budaya pada suatu kelompok
masyarakat tertentu; ciri fisiknya, adat istiadat dan kebudayaannya sedangkan
sosiologi lebih menitik beratkan pada manusia dan hubungan sosialnya. Antropologi
lebih cenderung ideografik, srtinya cenderung deskriptif, grounded, induktif.
Teori dalam antropologi lebih cenderung tebatas pada satu komunitas. Fokus
studi antropologi lebih banyak pada nilai-nilai dan perilaku khas sebuah
komunitas.
Oleh karenanya, banyak yang
mengkritik antropologi bukan kategori sains. Para founding father ilmu sosial
semisal Comte, Durkheim, terobsesi agar ilmu sosial bisa diakui sebagai sains.
Karenanya mereka menyusun semacam "general principles" di mana pada dasarnya
ada teori universal tentang gejala sosial sebagaimana ada teori unversal
tentang alam. Muncullah istilah sosiologi untuk menunjukkan bahwa ilmu sosial
adalah sebagai sebuah sains.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1.
Konsep yang diperlukan untuk
menganalisa prose-proses pergerakan masyarakat dan kebudayaan, termasuk
lapangan penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut Dinamika Sosial.
Dari konsep dinamika sosial dapat ditarik beberapa konsep sederhana, yaitu:
konsep proses belajar kebudayaan oleh masyarakat itu sendiri, yakni
internalisasi, sosialisasi, dan enkulturisasi.
2.
Dalam proses evolusi sosial dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a.
Proses Microscopic dan Macroscopic
dalam Evolusi Sosial.
b.
Proses-proses Berulang dalam Evolusi
Sosial Budaya.
c.
Proses Mengarah dalam Evoksi
Kebudayaan.
3. Konsep
proses penyebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan dengan
perpindahan bangsa-bangsa dimuka bumi disebut proses difusi.
4. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul
apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat
laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu.
5. Inovasi adalah suatu proses
pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan
tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya
sistem produksi dan dibuatnya produk-produk baru.
3.2. Saran
Sebagai Penulis, kami merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca sangat kami harapkan agar penyusunan makalah ini bisa mencapai
kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemardjan,Selo dan Soemardi,Seoleaman. 1964.
Setangkai Budaya Sosiologi. Falultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Koentjaraningrat. (1993). Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lauer,
Robert H. (1993). Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Ritzer,
George, dan Douglas J. Goodman. (2003). Teori-teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Predana Media.
Soekanto, Soerjono. (1994). Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Syahyuti; Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Bogor http://kelembagaandas.wordpress.com/pengertian-kelembagaan/syahyuti/
diakses 30- 03- 2014